Sudah sejak kecil, aku terlatih sendirian di rumah. Sejak dari SD, jika aku pulang ke rumah, dan pintu rumah terkunci, nenekku sudah menyiapkan satu stel baju ganti, sedikit uang jajan, dan tulisan "mae lagi kumpulan di balai desa". Karena ada satu dan lain hal aku tinggal bersama kakek dan nenekku. Tapi, tinggal bersama mereka, bukan seperti impian para cucu yg ingin tinggal liburan di rumah kakek nenek, dengan segala kebaikan mereka krn kakek nenek suka memanjakan. Kakek dan nenekku berbeda. Bahkan sejak aku TK aku menyaksikan kakek dan nenek yg begitu sibuk. Bukan sibuk mencari uang, tp sibuk pada kegiatan2 masyarakat. Bahkan sampai sekarang umurku sudah 25 tahun, mereka lebih sibuk drpd diriku yg ada di usia produktif. Memalukan sekali.
Dari kecil aku terbiasa sendiri, ditinggal kemana saja yg aku tdk tahu, dari yg aku merengek ingin ikut, diiming2i jajan biar nggak ikut, sampai aku sudah kebal dan tidak kaget tiba2 pulang sekolah tdk ada orang dirumah. Hanya satu hal yg membuatku takut kala itu, sendirian di rumah, saat hujan deras dengan petir keras sekali tiada henti. Aku menangis sekencang-kencangnya, tp tetap kalah dgn suara hujan dan petir. Bahkan konyolnya, aku teriak-teriak minta tolong orang lewat dari dalam rumah, tp tdk ada yg mendengar. Waktu itu aku seperti terjebak oleh penculik dan menangis tiada henti. Sampai akhirnya om ku pulang menemukan aku menangis dan mengendongku. Aku cucu perempuan pertama, siapa yg tdk sayang padaku waktu itu, masih kecil, polos dan jauh dari orang tua. Maka sendirian buatku bukan masalah karena aku merasa banyak yg sayang. Sendirian yg menakutkan kala itu hanya ketika ada hujan dan petir dan aku tdk ada yang menemani. Kakek dan nenekku selalu mengajari secara tersirat, bagaimana kamu harus kuat ketika sendirian. Meski sebenarnya, ketika umurku masuk usia kuliah, aku menemukan kenyataan bahwa kakekku tidak tega melepaskan aku jauh dari rumah. Padahal selama SMP dan SMA aku terbiasa sendiri. Bahkan ketika mengambil rapot, dimana ada momentum kedekatan orang tua dan anak utk mengambil rapot, aku yg mengambil rapot sendirian. Atau aku yg paling terakhir mengambil rapot, sampai sore, menunggu kakekku datang. Bukan karena kakekku tdk perhatian, kepentingan orang banyak selalu lebih utama utk beliau dibandingkan satu cucu perempuannya yg mungkin masih bisa menunggu. Selama SMP dan SMA pengambilan rapot bukan momen spesial orang tua dan anak buatku. Bahkan aku sampai tdk peduli rapotku mau diambil atau tidak.
Sudah sampai terbiasa sendiri seperti itu, harusnya aku terbentuk menjadi pribadi yg lebih kuat. Tapi kenyataannya berbeda, semakin dewasa aku, semakin banyak hal yg aku sadari, tidak semua hal bisa aku hadapi sendirian. Kini, di seperempat abad usiaku, aku pulang. Diam-diam menangisi kesendirian, bukan krn takut ada petir dan hujan. Tapi aku takut, tak bisa belajar dari apapun yg aku hadapi sebelum aku kembali lagi ke rumah ini. Dan sepertinya aku pulang tdk membawa apa-apa. Kembali sendiri, menikmati sepi.
A. DESKRIPSI TAMAN PINTAR 1. Sejarah Taman Pintar Taman Pintar merupakan obyek wisata pendidikan keluarga di Kota Yogyakarta yang menawarkan wahana belajar sekaligus rekreasi yang komplit untuk anak-anak, mulai dari usia pra sekolah hingga tingkat sekolah menengah. Rentang usia kelompok sasaran ini dipilih karena dipandang sebagai generasi penerus bangsa yang potensial untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Di dalam taman yang digagas oleh Wali Kota Yogyakarta, Herry Zudianto, SE.Akt, MM, dan dibangun di atas lahan seluas 12.000 meter persegi ini, terdapat enam zona dengan bermacam wahana bermain dan belajar yang disertai alat peraga iptek. Begitu memasuki kawasan ini, pengunjung dapat langsung menyaksikan dan mencoba hasil karya inovasi teknologi dan permainan dari pelbagai wahana tersebut. Di Indonesia, terbentuknya taman semacam ini diawali dengan berdirinya pusat peragaan iptek yang berlokasi di Taman M...
Komentar
Posting Komentar